Wangi Melati

Wednesday, September 16, 2015

Jejak langkahku ber-Kohati : Rumah yang nyaman untuk belajar

Entah kenapa Milad Kohati kali ini mengingatkan bagaimana memori awal ketika aku memasuki rumah yang khusus untuk kaum perempuan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ini. Mungkin karena beberapa keinginan kawan-kawan alumni yang untuk menuliskan sejarahnya ber-Kohati, mungkin juga terakumulasi sebuah mimpi tahun lalu dimana aku berharap Kohati HMI Komisariat Fakultas Teknik USU kembali berkibar dikampusnya. 

Aku berproses di Kohati diawali oleh ketidaksengajaan. Memasuki organisasi ini tentu harus memasuki HMI terlebih dahulu. Aku ingat tahun itu, 1999, setelah dua tahun menjadi mahasiswa di Arsitektur Universitas Sumatera Utara (USU) aku baru memasuki langkah pertama ber-HMI. Dimasa itu Kohati FT-USU justru bersiap-siap menghapus jejaknya di Fakultas Teknik USU. Istilah yang digunakan kawan-kawan saat itu mengintegralkan Kohati, Istilah dalam Pedoman Dasar Kohati saat ini: Pembekuan Kohati. Tak perduli sebenarnya aku terhadap penting tidaknya Kohati saat itu. Bagiku, aku ingin berbuat sesuatu. Memanfaatkan masa muda dengan aktifitas positif apapun yang bisa ku lakukan. 

Mengukur jejakku hingga hari ini, kau akan terkejut bagaimana seorang Pera di masa awal ber-HMI. Seorang yang pendiam, kaku dan penggugup, bukanlah orang yang dominan. Lebih suka mengamati, dan menunggu saat yang tepat untuk muncul. Itu pun tetap menunggu sampai didorong untuk bicara. Meskipun Aku benci menyerah pada keadaan, namun terlalu khawatir untuk mencetuskan ide. Aku lebih suka bertindak sendiri, tidak komunikatif sama sekali. Maka memanglah seorang Pera adalah single fighter. Dan seringkali lebih nyaman begitu.

Pertama kali aku digembleng di Kohati Komisaria FT-USU. Bingung sebenarnya saat itu, karena setahuku aku masuk perkaderan HMI bukan Kohati, tapi para pengurus saat itu langsung menempatkanku di Kohati. Mungkin karena aku perempuan, (atau saat itu tidak boleh memilih?). 
Tugas pertamaku pasca disematkan menjadi anggota HMI/Kohati adalah menjadi sekretaris panitia Anjangsana (Bakti Sosial). Merupakan proyek kerja besar Kohati FT-USU yang terakhir sebelum ajalnya tutup usia di bumi Teknik USU. Tahun itu, masih 1999. Kepanitian berjalan seminggu menjelang ujian semester sehingga hampir tak ada yang meluangkan waktu dalam hal-hal teknis, lebih memilih berlajar dan kumpulkan tugas. Namun Alhamdulillah, ketika hari H, semua berjalan dengan menantang. Aku dilatih mengambil keputusan penting disaat genting. Pemanasan awal, yang kemudian menjadi pengalaman berharga bagiku hingga saat ini. 

Kohati komisariat FT-USU lenyap tahun itu. Dirayakan dengan masuknya HMI-wati diposisi empat  staf ketua di HMI komisariat periodesasi 1999-2000. Sepertinya saat itu, kawan-kawan terlihat lega dan bangga sekali. Entah kenapa. Aku tak mengerti, dan malas untuk mencari tau. Terhapus dengan suasana ber-HMI yang begitu hangat, seperti rumah. Tiada hari tanpa duduk di Musholla Teknik, berdiskusi apa saja. Pulang kuliah pun masih menyempatkan berjalan beriring ke sekretariat, rapat harian dulu baru pulang kerumah masing-masing. Hari liburpun masih terpanggil. Begitu menyenangkan, dan aku penasaran untuk meneruskan ke jenjang berikutnya. Bagaimana rasanya di tingatan cabang, badko, bahkan PB. Cita-citaku sampai tingkat nasional mulai tumbuh disini.

Tapi berharap ke cabang bukan persoalan yang mudah. HMI Cabang Medan masa itu, memiliki 30-an komisariat. Masing-masing komisariat mengirim satu saja kadernya untuk kepengurusan, maka jajaran pengurusnya sudah cukup gemuk. Dengan posisi wakil bendahara di Komisariat, sepertinya aku harus tau diri, mengalah dengan kawan-kawan di struktural yang lebih tinggi dan lebih berprestasi. 

Ternyata, keinginanku yang belum sempat terucapkan itu disambut oleh Tengku Nurzehan. Ketua umum Kohati Cabang Medan termuda  baru saja terpilih dan sedang menyusun kepengurusan. Saat itu, dia sedang berkunjung ke sekretariat teknik untuk menyampaikan up grading. Sepertinya memang kami jodoh ya... :D
Sudah digariskan untuk bertemu di Kohati. Zehan lah pintu masukku ke cabang Medan.

Meski demikian, perjalananku masuk ke Kohati tidak mulus begitu saja. Hamka Lubis, Ketua umum komisariat masa itu justru satu-satunya orang yang tidak setuju dan tak mau merekomendasikanku. Aku diam shock saat itu. Jalan pemikirannya yang menyebalkan itu dijelaskannya esok harinya sambil menikmati pecal bibi yang nongkrong di depan Musholla. Hampir kumaklumi andai saja, siang itu, tidak ada Yuli (ketua bidangku) dan Bang Roni Harianja yang tak sengaja juga ikut mendengarkan, mungkin tak pernah ada seorang Peranita Sagala yang pernah menjabat menjadi Ketua umum Kohati Badko HMI Sumut 2004-2006, Kandidat Ketum Kohati PB di Kongres tahun 2006. Hamka "ditempeleng" dengan rentetan nasehat di siang bolong. "Orang mau belajar, jangan dilarang", katanya. Hamka terdiam dan tak berani lagi berargumen.  Suatu hari, setelah moment itu aku bertemu lagi setelah sekian tahun tak bertemu dengan sang senior itu. Sama sekali dia tidak menyadari, jasanya terhadap ku. Tapi tak pernah kulupakan siang itu. Awal aku memilih berproses di Kohati. Sebuah organisasi sayap HMI yang memberi ruang bagi orang-orang yang mau belajar.

Kohati, didalamnya tak begitu bergengsi seperti gengsi duduk di struktural HMI setingkat. Khusus pada issu keperempuanan, sehingga tak begitu menarik dalam perpolitikan daerah yang patriarkhinya sangat kental. Karenanya persaingan didalamnya masih begitu longgar. Karena itu pula aku dapat bernafas melakukan banyak hal di Kohati.

Pelan-pelan aku belajar didalamnya. Kelemahan-kelemahan organisasinya justru membuatku merasa diberi peluang untuk berbuat banyak. Kohati masa itu mungkin hanya organisasi kelas dua, organisasi kecil yang tak dianggap berpengaruh. Pikirku, karena itulah aku berpeluang untuk membesarkannya, untuk memperbaikinya. Sok heroik ya?. Pada dasarnya Aku  ingin menjadi besar karena membesarkan Kohati. Bukan besar karena masuk di organisasi yang besar. 

Sekarang, aksi sok heroik ku itu entah sudah sampai mana dalam kacamata HMI dan ummat. Apakah Kohati sudah besar?. Sulit mengukurnya secara kualitatif. Tapi apapun hasilnya, pribadiku sangat banyak "berutang budi" dari proses-proses di Kohati. 

Belajar...tertawa (kau pasti herankan? dulu memang aku sulit rileks menghadapi masalah). 
Berteman dengan banyak lapisan, berbagai latar belakang pendidikan. 
Berteman dengan teman-teman di banyak daerah. Belajar berani. Aku tak khawatir kemanapun saat jadi pengurus Kohati, bahkan ketika menembus Aceh dimasa DOM (Daerah Operasi Militer) baru saja reda. 
Belajar menjalani berbagai konflik, ketika  Zehan dengan tegas bertentangan dengan HMI cabang Medan masa itu, ketika di Badko aku sempat membangun koalisi untuk menjatuhkan ketua umum, dan suksesiku menjadi ketua umum Kohati badko Sumut dan Kohati PB. 
Belajar mengambil sikap terhadap isme-isme komisariat dan kampus USU, IAIN, Unimed, UISU, ITM dan swasta lainnya yang selalu timbul di setiap ajang pemilihan ketua umum dan interaksi di kepengurusan. Kebanggan sendiri ketika kawan-kawan tak lagi  memandang aku dari komisariat teknik, tapi dari Kohati...hanya Kohati.
Belajar menaklukkan gengsi belajar dengan yang jauh lebih muda. Berteman akrab dengan orang yang dulunya sempat kuanggap musuh. Belajar untuk terus belajar didalam dunia-dunia trainingnya.

Tak terbayang semua proses pembelajaran itu tanpa aku ber-Kohati. Aku yakin, jika saja aku masuk di HMI cabang, takkan sebanyak itu peluang yang bisa kuperoleh dan kuperbuat. 

Bagi HMI, Kohati memang alat untuk mencapai tujuannya. Namun sebagai kader,  Kohati adalah fasilitas.
Jauh setelah usai ber-Kohati, fasilitas itu masih kunikmati. Keberuntunganku terpilih dalam program IVLP (International Visitor Leadership Program) ke Amerika Serikat di tahun 2014 adalah salah satu fasilitas yang kunikmati pasca ber-Kohati.
Yang paling berharga dan berkelanjutan adalah bertemu dengan kakak-kakak, kawan dan adik-adik yang luar biasa. Perempuan-perempuan yang terbiasa ber-Kohati dan kemudian terus meneruskan perjuangannya di masyarakat melalui berbagai latar belakang profesi.  Dengan keterbatasan waktu dan peran domestiknya tetap berkarya dan berjuang untuk ummat. Dan selalu menyediakan ruang yang lebih lapang untuk berbuat.

Semoga Kohati selalu mengalirkan kader-kader luar biasanya.

Maka keinginanku tahun lalu  yang pernah kucetus untuk mengembalikann Kohati di FT-USU bukanlah sebuah penyakit post power sindrom walau terkesan memprovokasi. Aku hanya ingin berbagi, fasilitas yang kunikmati hingga saat ini. Memberikan ruang berproses yang lebih lapang, lebih nyaman untuk belajar berkarya.

Semoga terkabul.
Selamat ber-RAK HMI Komisariat FT USU
Selamat Milad ke 49 Kohati
Tetaplah jadi rumah yang nyaman untuk belajar.
Lisensi Creative Commons
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional.


No comments:

Jejak Kohatiku