Wangi Melati

Monday, March 01, 2010

Diskriminasi Perkaderan KOHATI

Kalaulah Kohati selama ini berjuang menghapus diskriminasi terhadap kaum perempuan, maka kali ini ku ajak kawan-kawan kohati melihat ke diri sendiri. Apakah Kohati sendiri lepas dari diskriminasi dalam perkaderan HMI?.

Yang akan kusampaikan ini adalah rangkaian kasus yang beberapa kali berulang beberapa HMI cabang yang ada di Sumatera Utara khususnya Medan. Harus kusampaikan di sini untuk mendapatkan solusi dari kawan-kawan, mungkin juga dapat membantu secara struktural organisasi.


Kohati, dengan cikal bakalnya sebagai bidang keputrian dulunya, pada dasarnya adalah badan khusus yang bertanggung jawab dalam pembinaan anggota nya yaitu HMI-Wati. Dan sampai saat ini, peran ini masih di tertulis jelas dalam PDK maupun ART HMI. Yaitu Kohati adalah badan khusus yang berperan dalam pembinaan HMI wati.

Dengan status semi otonomnya Kohati pun membangun sistem perkaderannya sendiri yang terangkum dalam pola pembinaan KOHATI. Training Formalnya adalah LKK, dan dilengkapi dengan training Non formal juga proses informal di kepengurusan.
Tidak cukup sampai disini, dalam Latihan Kader I, juga diselipkan 2 jam materi tentang Kohati dan pergerakan perempuan. Tujuannya adalah pengenalan lembaga khusus kohati tepat saat melalui pintu awal perkaderan HMI. Dengan mengenal kader dapat kemudian kohati sebagai salah satu badan khusus tempat kader dapat mengembangkan potensi dirinya terutama dalam persoalan keperempuanan.

Dengan status semi otonomnya juga Kohati memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam setiap Musyawarah Nasional Kohati, selalu dilakukan perubahan dan pembenahan pada seluruh sistem organisasi Kohati. Karena Kohati bagian tak terpisah dari HMI, maka perubahan yang dilakukan pun harus disinergiskan dalam pasal-pasal di Konstitusi HMI. Misal tentang pengertian kohati.

Perubahan dalam petunjuk berorganisasi ini menjadi landasan hukum dan gerak dalam menjalankan semua aktifitas organisasi, di HMI/Kohati. Setiap kongres akan ada perubahan. Kadang perbuahan tersebut menguatkan keberadaan Kohati dalam artian mempermudah kinerja kohati dalam melakukan tugasnya. Kadang malah membuat Kohati kelimpungan mengurus permasalah internal dan gesekannya dengan kepentingan HMI setingkat.

Contoh perubahan yang memberi angin segar bagi Kohati adalah, hasil Kongres ke-24 di Pondok gede, Jakarta tahun 2003. Hasil kongres ini pada Pasal 33d ART HMI mengukuhkan keberadaan Kohati sebagai salah satu syarat berdirinya cabang penuh. Dampak dari perbuahan kebijakan ini, serta merta cabang-cabang HMI mendirikan Kohati, Badko pun membantu proses tersebut agar segera terlaksana. Periode ini, tugas Kohati badko amat terbantu, tanpa harus berkoar-koar merayu cabang agar segera mendirikan Kohati. Meski tak hanya Kohati yang mendapat limpahan kemudahan menjalankan tugas karena perubahan di konstitusi ini, pada pasal tersebut juga tersebut bahwa setiap cabang harus memiliki Badan pengelola latihan, Kohati dan satu lembaga kekaryaan. Maka lahirlah lembaga pers, lembaga kesehatan, lembaga dakwah, dan banyak lembaga lainnya yang selama ini (khusus di Sumatera Utara) hanya di dengar saat materi konstitusi disampaikan di LK-I. Harapan terbersit pada masa itu, alangkah bagusnya peraturan baru ini, biar HMI ini tak berpolitik saja, biar HMI ini lebih banyak berkarya, biar HMI ini lebih banyak mengkader manusia pelaku perubahan.
Sayangnya pasal ini kemudian di pangkas pada kongres berikutnya di Makassar tahun 2006. Entah apa alasan logisnya, Kohati kemudian tidak menjadi salah satu alat ukur, suatu cabang dinyatakan sebagai cabang penuh. Tak pernah ada catatan tertulis mengapa suatu pasal pada AD ART berubah. Namun dengan eratnya hubungan pasal ini terhadap kelayakan cabang untuk pemilihan ketua umum, bisa jadi pemangkasan pasal ini adalah untuk mendapatkan suara pemenangan kandidat (silahkan koreksi jika dugaan ini salah). Kepentingan pragmatis yang akibatnya berpengaruh luas. Kohati kembali harus bekerja keras.

Demikianlah sejarah mencatat, diskriminasi lembaga Kohati di saat Kongres, di wadah pengambilan keputusan tertinggi di HMI.


Mari melihat ke dalam perjalanan roda organisasi.

Dalam kepengurusan HMI cabang, pernahkan memprioritaskan pengadaan LKK (latihan Khusus Kohati)?.

Pada Di HMI cabang di Sumatera Utara, LKK (Latihan Khusus Kohati) bukanlah training yang di prioritaskan untuk dilaksanakan. Jika dalam sebuah agenda HMI cabang akan mengadakan LK II (Latihan kader II/Intermediate Training), dan kebetulan Kohati juga akan mengadakan LKK maka biasanya dengan alasan ketiadaan tenaga pengelola, dana dan lain-lain, maka LKK diharapkan mengalah, di undur pelaksanaannya, atau kalau perlu tak usah dilakukan. ”Untuk apa LKK?, yang lebih penting kan LK II !” . Begitulah statement yang sering muncul. Amat jarang cabang yang memiliki kesadaran akan pentingnya perkaderan di Kohati. Ini masih di tingkat HMI cabang.
Masalah yang lebih rawan ada di Badan Pengelola Latihan. Kohati jelas tidak memilki badan pengelola latihan khusus kohati, wajar...karena sudah ada badan khusus yang mengurusi semua tetek bengek pengelolaan latihan di HMI. Sayangnya, BPL ini perkembangannya lambat. (Maaf ini fakta...)

BPL (Badan Pengelola Latihan) saat ini, lebih layak disebut Badan Pengelola Latihan formal HMI, Namun sebutan ini masih lebih baik daripada sebutan Badan Pengelola Latihan Kader I/Basic Training.

Karena pada kenyataannya BPL memang terlalu sibuk mengurusi training formal saja. Nyaris tak ada memiliki inovasi training dan pengembangan dalam training-training non formal yang sesungguhnya juga wadah penting bagi pengembangan kader HMI.
Nah, ketika Kohati memohon bantuan tenaga pengelola LKK (Latihan Khusus Kohati), BPL biasanya kelimpungan, kebingungan menentukan siapa instrukturnya, karena energi pengelolaan selama ini habis untuk LK-I saja. Bisa jadi pengurus BPL tak pernah tau jika Kohati memiliki modul LKK yang tercantum dalam PDK (Pedoman dasar Kohati), apalagi melakukan pengembangan berarti untuk perkaderan Kohati. Dapat menyukseskan LK I aja syukur Alhamdulillah.

Jika BPL bisa melupakan pelatihan di Badan Khusus Kohati_yang telah memiliki pola pembinaan sendiri, apatah lagi memfasilitasi pengelolaan badan-badan khusus lainnya di HMI?.

Di HMI cabang Medan, kondisi ini merembet pada pengurangan materi Kohati & dinamika gerakan perempuan yang seharusnya disampaikan dalam LK-1. Pengurangan ini dengan alasan, efisiensi waktu.

Alih-alih BPL seharusnya membantu perkaderan Kohati sebagai salah satu badan HMI setingkat, kenyataanya BPL (sengaja atau tidak) telah secara sistematis menghambat perkaderan HMI-wati. BPL melahirkan kebijakan sepihak tanpa meminta pertimbangan Kohati cabang setingkat tentang di cabutnya materi tersebut dari LK-I. Malangnya Kohati tidak bisa berbuat apa-apa. Sistem training memang dikendalikan sepenuhnya oleh BPL. Dan memang tidak ada pengaturan prosedur atau sanksi dalam konstitusi kita, jika ada pencabutan materi yang seharusnya disampaikan dalam training formal HMI, apalagi dalih materi Kohati dan pergerakan perempuan adalah bukan materi pokok namun sekedar suplemen dalam LK I.

Sebenarnya akan lebih etis, jika Kohati juga dilibatkan dan perubahan sistem LK I tersebut, karena hal ini menyangkut sistem perkaderan Kohati juga. Karena perkaderan Kohati juga bagian dari perkaderan HMI. Dengan duduk bersama, seharusnya ada alternatif lain tanpa harus mengorbankan sistem perkaderan Kohati yang telah berlangsung mapan selama ini.

Sikap BPL seperti ini, tentulah dilatar belakangi oleh ketidakpahaman akan pentingnya keberadaan badan khusus terutama Kohati dalam HMI. Perkaderan dipandang sempit dalam wadah HMI saja, tak termasuk ada dalam badan khusus Kohati dan lembaga-lembaga HMI lainnya. Sistem pengelolaan dipandang penting hanya sebatas pada training formal di HMI saja. Sikap seperti ini, jika dilanjutkan hanya akan mematikan perkembangan HMI di bidang lainnya.
Adapun keberadaan kader Kohati di BPL tidak cukup untuk mendudukkan pemahaman ini. Harus ada dasar hukum yang tegas yang jadi standar acuan, yaitu Konstitusi.
Jika mengandalkan dinamika di saat rapat-rapat, maka kondisi perkaderan Kohati di setiap cabang akan cenderung terancam, karena lama kelamaan, karena pola pekaderan Kohati yang diperlemah di LK-I ini, maka akan lahir Instruktur yang meski anggota Kohati namun tak mengerti akan pentingnya keberadaan Kohati. Dan kader seperti ini akan semakin banyak.

Contoh kasus Di HMI cabang Medan, Instruktur HMI-wati cenderung enggan mengikuti LKK. Jarak HMI-wati mengenal Kohati telah di perlebar sejak penghapusan materi Kohati di LK-I. Mereka malah menganggap mengikuti LKK tidak penting karena tak ingin bersinggungan dengan Kohati. Sementara keberadaan Instruktur HMI-wati yang telah LKK sangat dibutuhkan untuk pengelolaan LKK. Dalam aturan BPL, pengelola pelatihan adalah oleh instruktur yang pernah mengikuti pelatihan tersebut. Analoginya, tentu tidak pantas, S1 mengajar mahasiswa S2. Tentu tidak pantas, instruktur yang belum LK III mengelola LK III. Begitu juga LKK. Itulah sebabnya, belakangan pengelolaan LKK di Sumatera Utara harus HMI-wati, meski dulu di awal tahun 2000, saat sumberdaya instruktur HMI-wati sangat minim pengelolaan LKK diperbantukan oleh instruktur HMI-wan.

Fenomena merusak entah sejak kapan kemudian membudaya pada para kader yang telah mengikuti Senior Course, yang merasa layak menjadi instruktur/pengelola pelatihan di HMI. Instruktur-instruktur muda ini justru cenderung berhenti mempelajari pelatihan-pelatihan lain di HMI. Merasa sudah menguasai semua jenis pengelolaan training HMI setelah mengikuti Senior Course. Aneh. Bagaimana bisa mengembangkan sebuah pelatihan jika tidak mengetahui seluk beluk pelatihan tersebut?. Dan karena pelatihan bukan buku yang transfer pengetahuannya dapat tersampaikan saat dibaca. Maka bukankah Pelatihan harus di-ALAMI?. Mengacu pada buku Manusia Pembelajar, Andreas Harefa, bisakah Guru dikatakan Guru jika ia berhenti belajar?.
Dari gambaran permasalahan ini, penting kiranya dikembalikan keberadaan Kohati sebagai salah satu persyaratan cabang penuh. Jika perlu harus lebih diperkuat sampai persyaratan komisariat penuh (kecuali memang komisariat tersebut tak ada HMI-watinya). Kenapa harus sampai tingkat Komisariat?. Tak lain karena Kohati adalah organisasi mahasiswa yang tetap harus memiliki basis sampai tingkat komisariat/kampus. Kohati dari tingkat tertinggi sampai lapisan paling bawah harus bersatu mengatur skenario memenangkan perubahan ini saat Kongres. Demi eksistensi Kohati di HMI. Demi menghapus diskriminasi Kohati.

Kedua, Sifat semi otonom Kohati, membuat garis hubungan kerja antara Kohati PB hingga ke bagian terkecil Kohati menjadi lemah. Kohati perlu memikirkan solusi untuk membuat hubungan ini menjadi sigap dalam menghadapi persoalan-persoalan di tingkat paling bawah. Misalnya, bagaimana Kohati Badko dan PB menyelesaikan persoalan BPL yang menyunat materi pengenalan Kohati dari LK-I?. Atau bagaimana Kohati PB dan Badko bersikap pada cabang-cabang yang tidak mengadakan LKK hingga lebih dari 2 periode. Jika PB HMI bisa melakukan pencabutan status cabang jika tidak mengadakan LK II dalam 2 periodesasi, bagaimana sanksi terhadap Kohati cabang yang tidak melakukan LKK?. Bagaimana jika masalah tidak terlaksananya LKK adalah persoalan di kebijakan yang diskrimintif di HMI setingkatnya?. Hal-hal seperti ini harus dibenahi sesegera mungkin, karena persoalan Perkaderan Kohati berhubungan erat dengan keberlangsungan Kohati di masa depan. Jangan sampai HMI di masa depan mundur jauh kebelakang sebelum adanya Kohati, dimana HMI yang tak mampu meresponi persoalan keperempuanan yang pastinya tak pernah usai menjadi permasalahan dunia.

Lisensi Creative Commons
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional.

8 comments:

Anonymous said...

"Nah, ketika Kohati memohon bantuan tenaga pengelola LKK (Latihan Khusus Kohati), BPL biasanya kelimpungan, kebingungan menentukan siapa instrukturnya, karena energi pengelolaan selama ini habis untuk LK-I saja. Bisa jadi pengurus BPL tak pernah tau jika Kohati memiliki modul LKK yang tercantum dalam PDK (Pedoman dasar Kohati), apalagi melakukan pengembangan berarti untuk perkaderan Kohati. Dapat menyukseskan LK I aja syukur Alhamdulillah."

- ketika saya dimintai pendapat oleh temen-temen KOHATI PB HMI untuk membahas pola pembinaan KOHATI, ternyata KOHATI pun tak tahu apa-apa mengenai KOHATI.....

- bicara BPL silahkan lihat lagi tugas dan kewenangan BPL yang diberikan oleh konstitusi.....

Salam,
Encep Hanif Ahmad
bukan orang BPL hanya pernah di LPL

Anonymous said...

adanya diskriminasi tersebut juga karena kader kohati sendiri kadang tidak sadar dengan peran dan fungsinya etrlebih mereka tidak tau tentang PDK. di tingkat komisariat seringkali HMI-wan sibuk mengurusi kader2 semua dan seringkali kajian hanya membahas materi ke-HMI-an. maka kader2 kohati yang telah lama di HMI harus berperan dalam merangkul kader-kader HMI-wati yang baru dan menjadi pelopor adanya kajian kohati. Jika kohati tidak bergerak maka bisa dipastiakan kader kohati yang faham dengan fungsi dan perannya akan hilang.

HALIMAH KOHATI TUBAN

peranita said...

@Encep Hanif Ahmad
1. Kohati adalah Lembaga. Bukan sebatas kohati PB.
sedih memang,jika kualitas sumberdaya kohati PB di masa anda seperti itu, tetapi tetap ada sumber di KONSTITUSI dan Pedoman Dasar Kohati untuk mengetahui apa itu Kohati lengkap dengan pola pembinaan dan format gerakannya.
Sebagai orang yang berkecimpung di tingkat nasional, harusnya bisa melihat masalah jg secara global, dan merujuk konstitusi yg ada. bukan sebatas merujuk tetangga anda di sekretariat PB.

peranita said...

@Encep Hanif Ahmad
2. Dalam Pedoman Dasar BPL
Pasal 4
Tugas
a. Menyiapkan pengelola latihan atas permintaan pengurus HMI setingkat.(NB...Kohati adalah bagian HMI setingkat)

Pasal 5
Wewenang
b. BPL HMI Cabang memiliki kewenangan untuk menyiapkan penglolaan
pelatihan yang meliputi Latihan Kader I, Latihan Kader II dan latihan ke
HMIan lainnya.

dalam penjelasan wewenang ditegaskan bahwa Pelatihan yang diselenggarakan oleh KOHATI ...tidak termasuk kategori pelatihan ke-HMI-an

wewenang jika mengacu pada KUBI artinya adalah:
we·we·nang n 1 hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan; 2 kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kpd orang lain; 3 Huk fungsi yg boleh tidak dilaksanakan;

tugas dalam KUBI artinya adalah:tu·gas n 1 yg wajib dikerjakan atau yg ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yg menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yg dibebankan:


Kembali ke pasal 4. Tugas...
saya pikir sudah jelas, bahwa BPL juga harus paham bagaimana melakukan LKK agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
tapi tentu saja BPL tidak punya kekuasaan untuk membuat perubahan pola perkaderan HMI wati.

Trimakasih..anda sudah membuat saya lebih detail lg memahaminya.

peranita said...

@halimah kohati Tuban
Ayo bergerak disemua lini...
Perkaderan bagai jantungnya HMI. Maka kita jg harus merubah kondisi Kohati dari BPL HMI nya..

Anonymous said...

@paranita
sudah anda jelaskan sendiri apa kewenangan BPL dan apa yang bisa dikelola olehnya....

mengenai tugas..... mungkin ada perbedaan pemahaman terhadap pengurus HMI setingkat..... siapakah yang disebut sebagai pengurus HMI? tentu ada beda antara pengurus HMI, pengurus badan khusus, ataupun pengurus lembaga kekaryaan...... kalo bicara bagian HMI setingkat tanpa kata pengurus.... semua kader adalah bagian..... tapi kata pengurus HMI jelas merujuk pada siapa.....

dalam hukum ada istilah lex spealis dan lex generalis..... pengecualian terhadap LKK adalah lex spesialis dari tugas, dimana dia adalah salah satu kekhususan yang diberikan (pembatasan kewenangan) pada BPL.... mo nya BPL sih gitu, semua pelatihan ada di bawah wewenangnya..... tapi tentu nanti ada yang singut...... he he he.....

mahap klo saya memakai Kohati PB HMI sebagai parameter..... bukan masalah tetangga.... tapi karena diundang aja..... he he he......

dan waktu itu justru mo membahas PDK..... jadi PDK-lah yang mo dikritisi, makanya saya bilang saat itu, Kohati itu sebenarnya mo nyetak kader seperti apa sih? klo kekaryaan kan jelas, mo cetak kader profesional sesuai dengan bidangnya, tentu pola yang dibangun akan merujuk untuk mencapai sosok demikian, nah klo Kohati ini gimana.....? ternyata para beliaupun gak tau apa dan bagaimana Kohati, nah klo udah gitu, bagaimana mo bisa menjabarkannya dalam pedoman perkaderan kohati (atau apa pun namanya).... saat itu saya tanya, knapa mesti ada LKK? dan apa kedudukannya LKK? gak bisa juga menjelaskan..... klo bicara training mengenai keperempuanan kenapa harus LKK? bukankah klo lebih baik untuk semua kader (wan/wati)? knapa harus dikhususkan...... apakah co gak boleh tau apa itu kesehatan reproduksi?

yah klo Kohati di bawahnya lebih baik, baguslah..... sayangnya knapa gak ke level PB aja klo lebih baik..... biar bisa menulari semuanya..... ;)

salam,
Encep Hanif Ahmad

peranita said...

Haddoooh...parah bener kohati PB masa mu itu...kader seperti apa yg mo di cetak kohati, begitu gamblang dan jelas tertulis di PDK:
1. Muslimah
2. Profesional
3. Intelek
4. Mandiri
training keperempuanan di Kohati itu banyak, ada yg pesertanya homogen ada jg yg heterogen.
tp tetap ada training yg peserta di khususkan untuk perempuan saja(homogen). Salah satunya LKK.

Pengalaman sy mengelola training, kader HMI-wati, cenderung pendiam dalam training yang heterogen, tp ketika masuk dalam training yang homogen, waah..keluar "isi kepala"nya...bisa jd, kondisi ini dibentuk oleh gender di lingkungan kita.
Pernah jg sy coba, pelatihan kespro dengan peserta heterogen. menurut sy ,bisa aja pesertanya heterogen, tp dgn peserta homogen jg ada nilai lebih.

Kohati, sedikit berbeda dengan badan khusus HMI lainnya. Kohati,saat ini masih jadi satu-satunya badan khusus memiliki ex officio di HMI Setingkatnya, yaitu sebagai bidang Pemberdayaan Perempuan. Maka, ketika Kohati meminta BPL, itu adalah dalam tataran sebagai salah satu bidang HMI.

saya pikir, BPL harus berbenahlah dengan kreasi-kreasi baru dalam dunia training. Dan mereformasi diri agar bisa menampung aspirasi badan2 khusus HMI, bagaimanapun, badan khusus adalah bagian dari HMI yg jg membesarkan HMI.

Sering tersandungnya Kohati difasiltasi oleh BPL membuat adanya wacana untuk membentuk lembaga perkaderan sendiri. bagaimana menurutmu?

Sy pernah pengurus PB kok,hanya saja tak sempat jd no.1 di PB. Soal menulari, meski tak di struktural lg, InsyaAllah, sy masih bisa.

Euis Fakhrudin said...

astaghfirullah...

Jejak Kohatiku