Wangi Melati

Thursday, May 24, 2012

Hak-hak Perempuan berpolitik dalam Islam


Ayat yang mengatur hak perempuan dalam berpolitik salah satunya dalam surat At-Taubah:71

“dan orang-orang yang beriman,lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagaian yang lain.mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf,mencegah yang munkar,mendirikan sholat,menunaikan zakat,dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kata awliya’, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa.

Kepentingan kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik, sosial maupun ekonomi.

Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.

Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).

Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay’at(janji setia kepada Nabi dan ajarannya), seperti para laki-laki sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.

Bai’at disebutkan para ulama sebagai bukti para wanita mempunyai kebebasan untuk memilih segala pilihan yang terkait dengan kehidupan mereka dan hak mereka.

Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan ‘Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Jamal (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.

***

copas dari Fb Kurnia Ilahi

No comments:

Jejak Kohatiku