Wangi Melati

Thursday, November 18, 2010

Amanah dari desa Lalang

Tak ingat aku nama si Bapak dari dinas pendidikan itu. Tapi diantara tamu kehormatan yang diundang, bagiku pidato dia lah yang paling indah. Kalaulah kata-katanya seindah tindakannya, tentulah pendidikan ditangannya lebih manusiawi.

Dia bilang begini…

“Hari ini sebuah kebahagiaan bisa hadir dalam peletakan batu pertama sekolah ini…”.

“Sungguh terharu saya dengan latar belakang adinda kita ini membangun sekolah. Dari ibu, dan adik, dari cita-cita keluarga”

“ Kalau ada segelintir orang kaya yang tergerak hatinya membangun sekolah, hari ini adinda kita ini mencontohkan sebaliknya. Meski rumahnya terbuat dari tepas yang nyaris roboh, namun dia mampu membangun sekolah. Ini menunjukkan bahwa membangun sekolah bukanlah masalah harta yang banyak atau pun usia yang matang. Kekuatannya adalah cita-cita.Cita-cita dari Adinda, dari almarhum Ibu dan Adiknya yang ingin mendirikan sekolah untuk membangun masyarakat sekitarnya”.

…….

Yup, cita-cita!. Sebuah keinginan kuat untuk berbuat bagi sesama, dan diwujudkan. Kawan…apalah arti idealisme tanpa perbuatan.

Bisik kata ini tiba-tiba muncul dan menohok tepat dijantungku.

Sakit.

………

Itulah kenangan tak terlupa dari seorang sahabat di sebuah desa bernama Lalang. Sekian lama tak bersua dia datang menemuiku, memesan gambar desain sebuah Taman Kanak-kanak miliknya yang akan dibangun di desanya. Hebat, tak habis-habis kekagumanku padanya. Kudesainkan sebuah bangunan yang keterjemahkan dari karakter sahabatku ini.

Am nama temanku ini. Usia kami terpaut empat tahun. Dia lebih muda, dan tentu saja cantik. Dulunya kukenal dia dalam sebuah pertemuan yang orang-orang yang serius. Dia paling berbeda saat itu. Bukan karena pemikiran-pemikiran briliannya di pertemuan yang serius itu, tapi karena dia paling cantik dalam penampilan. Kurasa dia menularkan keterampilan dandannya pada teman-temannya. Karena belakangan ketika ku berkunjung kesana lagi, pertemuan serius yang biasanya didominasi lelaki itu, mulai diimbangi dengan wanita-wanita cantik tapi juga cerdas.

Keliahaian Am dalam memoles wajah dan penampilannya menutupi dugaan picik orang-orang yang sering menilai sebatas kulit luar. Tak pernah aku merasa dia adalah gadis desa, berayah tukang becak, dan ibu penjual jamu. Kedua orang tua sederhana yang bekerja keras agar anaknya sekolah setinggi-tingginya. Am rapi menutupi dengan pakaiannya yang senantiasa menarik, Sapuan bedak yang lengkap dengan celak arab dan polesan lipstik. Indah jauh dari murahan.

Am seorang yang berkarakter kuat, meski logat melayunya selalu mendayu. Orang lain mungkin menjual kemalangan dirinya untuk mendapat iba dan pengakuan, tapi AM tidak. Tidak sama sekali. Sedikit celah pun tak diijinkannya bagi orang lain untuk mengasihaninya. Sampai aku sendiri yang merasa bagai saudaranya pun terkecoh. Lima tahun bersahabat, sama sekali tak pernah dia membuka diri soal kesulitan ekonominya. Hingga ketika aku datang melihat peletakan batu pertama gedung taman kanak-kanaknya, aku melihat sendiri kehidupan keluarga yang membesarkan seorang Am. Aih...Am maafkan aku yang kadang tidak mau tau keterbatasanmu.

Tak bisa kulupa saat dia datang menemuiku. Dengan lagaknya dia minta perhitungan biaya desain gambarku. Khas gaya seorang Am. Aku tersenyum saja saat itu, tapi kuberi juga dia penawaran sesuai standar profesi Arsitekku.

Sepenuh hati kugambar AM dalam wujud bangunan. Gadis desa yang ingin menarik hati dunia. Terpencil tapi tetap ingin modern. Menjadi kebanggaan karena punya cita-cita dan mengejar cita-cita. Didepan gedung sekolahnya, kuukir inisial namanya sebagai penanda: Gedung sekolah yang indah ini dibangun sepenuhnya oleh cita-cita!.

Cita-cita Am.

.......

Kuantarkan gambar itu, tepat dihari peresmian sekolahnya. Aku tau dia suka gambar itu. Karena Am, sang pesolek, dekat dengan cermin. Dan desain itu sendiri adalah cermin seorang Am.

Tapi kebangganku pada hasil karyaku yang disambut kagum oleh orang desa itu kandas terganti oleh rasa terkejut. Terperangah melihat rumah tepas disamping pondasi yang baru terpacak. Itukah rumahmu kawan?. Reot dan ringkih, tapi tetap terlihat ceria. Itukah becak yang menghidupimu kawan?. Ternyata semua amat berbeda dari yang kumiliki.

Sekali lagi bukan iba yang hadir didiriku. Sahabatku ini memang tak pernah mengijinkan iba ada didekatnya. Justru aku jadi malu. Malu dengan apa yang kumiliki, tapi belum juga bisa seperti AM.

Ya..bapak dari dinas pendidikan, anda benar sekali. Orang kaya sekalipun belum tentu tergerak hati untuk berbagi kekayaan bagi pendidikan anak-anak desa. Karena bukan kekayaan yang bisa membangun sekolah, tapi hati yang sunguh-sungguh mengapai cita-cita.

......

Sebelum pulang diselipkannya lembaran kertas dikantongku. Ditambah senyumnya sebagai ucapan terimakasih. Tapi aku tahu aku juga membawa pulang bonus yang setimpal. Trimakasih Am.

.....

Am adalah fenomena di desanya. Namanya tak selalu indah. Tapi sepenuhnya aku percaya dia sebenarnya anak yang baik. Bagiku dia, adik, sahabat, murid yang pernah kudidik dan kupautkan harapan, dan akupun belajar banyak darinya.

Semoga cita-cita Am mengantarkannya pada sebuah kebahagiaan yang hakiki.

No comments:

Jejak Kohatiku