Wangi Melati

Thursday, September 16, 2010

Sang Pencerah dari sudut feminis dan penikmat film


Sang Pencerah : Dari sudut Feminis

Ketika adikku sedang bermurah hati mentraktirku nonton film ini, entah kenapa secara spontan terbayang kekhawatiran pada penggambaran posisi perempuan di film ini. Dari judul, dan promosi film ini, terdengar amat bagus. Apalagi berkenaan dengan tokoh besar dalam sejarah Islam di Indonesia. Bisakah Hanung Bramantyo menyeimbangkan posisi perempuan bukan sekedar pelengkap penderita?.


Perempuan hampir di semua segi kehidupan selalu menjadi manusia kelas dua atau aktor figuran. Sampai-sampai catatan sejarah seolah adalah milik lelaki atau "his-story". Dan pemahaman agama punya pengaruh besar dalam menempatkan perempuan di posisi ini. Tidak ada nabi perempuan bukan?.Dengan berkembang pesatnya media informasi, juga seperti senjata bermata dua bagi kaum perempuan. Satu sisi semakin mendiskriminasi, satu sisi lagi menjadi alat untuk memberi pencerahan. Media Hiburan seperti film, sering pula menempatkan perempuan pada label yang cenderung negatif.


Awalnya peran Siti Walidah muda_istri Kyai Ahmad Dahlan_memang terlihat seperti perempuan kebanyakan, yang jatuh cinta pada lelaki. Kemudian impiannya terwujud dengan mudahnya, karena memang kedekatan keluarganya dengan Muhammad Darwis yang kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Menikah dan memiliki dua anak lalu sibuk mengurusi rumah tangga. Dalam tahap awal perjuangan Ahmad Dahlan, sang istri tidak begitu terlihat sikapnya dalam bentuk pendapat.


Was-was semakin menjadi ketika, Siti Walidah menolak permintaan abangnya untuk menasehati suaminya yang dianggap mulai mengkhawatirkan. Dengan tegas Siti Walidah berkata, "Sebagai istri, yang benar bagi saya adalah mendukung suami saya". Ups....bener sih, tapi....gak selamanya juga kaleee..


Namun ternyata dugaanku salah ketika Ahmad Dahlan terpuruk dalam putus asa. Disinilah peran sang Istri cukup besar untuk meluruskan kembali Ahmad Dahlan pada cita-citanya semula. Ketika Dahlan goyah dan merasa harus seperti Kiai kebanyakan, Siti Walida malah berkata, "jika kamu seperti mereka, mungkin saya tidak akan pernah mengenal calon suami saya".wah...ternyata Siti Walidah_si gadis remaja yang diam-diam mengamati Dahlan dari balik jendela_ jatuh hati karena Dahlan muda yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh pemuda kebanyakan. Mampu melihat permasalahan ummat dan berusaha menolong membersihkan ajaran Allah dari pengaburan mistik dan fanatisme. Dan Siti Walidah ada disamping Dahlan untuk mendukung, membantu suaminya untuk menegakkan ajaran Allah di Kauman. Nah..inilah sebenarnya prinsip taat kepada suami. Taat kepada suami dalam kerangka menegakkan Dhinullah. Berumah tangga dengan tujuan menyebarkan Islam seluas-luasnya. Menyebarkan Rahmatanlilalamin bagi umat manusia.


Lega akhirnya..


Sang Pencerah : Kritik pada Islam dulu hingga Sekarang.


Nah, tentang film ini sendiri, membuat kekagumanku kepada Muhammadiyah semakin besar. Beginilah senyata-nyatanya Islam telah berkontribusi besar bagi Indonesia. Walau kemudian ada pendapat bahwa ormas ini cenderung terjebak dalam penciptaan ritual baru, jika kita menonton film ini, Hanung Bramantyo merefresh kembali latar belakang dan semangat Kyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah. Islam yang universal, rahmatanlilalamin, tanpa kekerasan, jauh dari mistisme, pengkultusan dan tidak terjebak pada ritual. Perhatikanlah dialog-dialog konsultasi seputar ritual Islam kepada Kyai Ahmad Dahlann. Ketika di tuduh melarang untuk membaca Yasin, Kyai Ahmad Dahlan berkata " saya hanya tidak ingin terjadi pengkultusan surat Yasin, ada banyak surat dalam Al-Quran yang juga harus kita baca, dan sama istimewanya". Ketika dihujat karena dianggap meniadakan tahlil, Kyai Ahmad Dahlan berkata bukan melarang, tapi tak seharusnya juga membaca tahlil keras-keras hingga menganggu tetangga. Pendapatnya ini diikuti juga dengan hadist Rasullullah. Opini Kyai Ahmad Dahlan Selalu logis dan berdasarkan Quran dan Sunnah Rasululluah. Nah, kalau sudah pakai rujukan Quran dan Hadist Rasulullah, Muslim mana pula yang berani menolaknya?. Satu lagi yang penting, Kyai Ahmad Dahlan menyampaikan segala sesuatu dengan cara yang santun, tanpa kekerasan.


Oh ya...ketakutan pada produk kafir juga diangkat di film ini. Ketika Kyai Ahmad Dahlan menggunakan peta untuk memperbaiki arah kiblat, dia dipatahkan dengan pendapat, hati-hati dengan buatan orang-orang kafir. Ketika Kyai Ahmad Dahlan merubah cara berpakaiannya ala Barat dan memakai sendal, dia pun dituduh kafir. Juga ketika dia mendirikan madrasah dengan menggunakan kursi dan meja dituduh kafir karena menggunakan produk orang kafir. Aih...ini bisa jadi refleksi buat yang senang kafir mengkafirkan. Agama Islam bukan persoalan penampilan.


Adegan yang paling kusuka adalah ketika seorang murid Ahmad Dahlan protes pada gurunya, karena sudah empat kali membahas Surat Al Mu'minin. Yaitu perintah tentang membantu orang miskin. Dengan tenangnya sang Guru menjawab, "sudah berapa banyak orang miskin yang sudah kamu bantu?". Sang Murid hanya terdiam dan kemudian tertunduk malu.Ya...bukankah begini kajian-kajian agama kita?. Ada yang sebatas membaca Quran saja. Setiap pengajian lebih banyak membahas soal tajwid membaca Quran. Dan kemudian berlomba-lomba menjadi Qori terbaik. Penghapal Quran terbaik. Tapi esensi, nilai sesungguhnya, dari mengaji Al-Quran adalah memahami dan melaksanakannya. Kalau semua pengajian lebih pada tujuan ini, alangkah indahnya Islam. Tentulah Jannah dunia itu benar-benar terwujud dan dirasakan umat Islam.


Tentu ada hal yang terasa terlalu klise di film ini. Misalnya, Kenapa Raja Hamengkubowono begitu mudahnya memberi ijin pada Muhammadiyah?. Kemudian yang paling konyol, kesalah pahaman Penghulu Masjid Gede yang tidak memberikan ijin Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, hanya karena salah membaca, "presiden" menjadi "residen". Hehehe...benarkah demikian?. Kalau ya, benar-benar amat menggelikan. Film ini membuat pertanyaan baru usai menontonya. Benarkah gelapnya Islam sebelum Ahmad Dahlan hadir, adalah karena Syekh Siti Jenar?. Kenapa kemudian Muhammadiyah berkembang pesat di Sumatera Barat?. Lalu kenapa terjadi perseteruan NU dan Muhammadiyah?. Hmm..sebagai orang diluar Muhammadiyah, film ini membuatku semakin penasaran membaca sejarah. Ada yang bisa menjelaskan?


Dan terakhir, Indonesia sangat butuh film seperti ini lebih banyak lagi. Semoga semakin banyak yang seperti Hanung Bramantyo ya...klo bisa Sinetron-sinetron TV juga bisa berbenah seperti kualitas film ini.


------------------------------------------------



NB:

Tulisanku kali ini adalah kado untuk Milad Kohati.

Kutipan kata-kata dalam film mungkin tak sepenuhnya tepat, tapi itulah makna yang kutangkap.

No comments:

Jejak Kohatiku