Wangi Melati

Tuesday, June 16, 2009

Tentang Jegal-menjegal kader

Tadi, seorang adinda curhat via sms ke padaku. Pasalnya, duduknya dia di kepengurusan di tentang oleh orang-orang yang memiliki posisi penting dan berpengaruh terhadap jalannya kepengurusan. Sedih terbersit, juga tak habis mengerti dirinya. Karena dalam sejarah geliat organisasinya selalu di tentang banyak orang. Kuingat-ingat memang parah betul adinda yang satu ini, dari komisariat sampai setingkat badko, selalu punya musuh politik yang jadi batu sandungannya hingga tak mampu menunjukkan kecintaannya pada HMI. Ada saja konfliknya. Dan meski aku pengamat dan sedikit banyak terlibat dalam prosesnya ber-HMI, aku pun memiliki kebingungan yang sama, tak mengerti melihat budaya jegal-menjegal perkaderan ini.

Ah..ya...jadi ingat. Aku juga pernah mengalami hal yang sama, ditentang oleh seorang teman karena keinginanku untuk duduk di Kohati Cabang Medan. Fatalnya dia adalah Ketua Umum komisariat yang punya wewenang untuk tidak merekomendasikan ku menjadi pengurus di tingkat cabang. Dalam rapat presidium, tegas dia melarangku untuk melanjutkan jenjang kepengurusanku. Aku ingat rasanya. Sangat sakit. Terbuang dan merasa tak berguna jerih payah yang kuperbuat selama ini.

Agaknya ketika kekuasaan ada di tangan, selalu saja ada kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Seolah mendapat jabatan (ketua umum misalnya) juga punya wewenang untuk mengatur proses perkaderan seseorang. Alasannya seringkali bertopeng demi nama baik organisasi, dan yang lebih aneh adalah demi kebaikan si kader, sperti kasusku ini, namun sebenarnya alasan yang dibuat adalah untuk menutupi alasan subjektif sang penguasa. Dia suka atau tidak dengan si kader malang.

Temanku sang ketua umum komisariat itu, akhirnya lunak bagai kerupuk disiram air, ketika seorang senior yang kami segani menasehatinya dengan sepotong kalimat. "Jangan pernah kau halangi kader yang berproses di perkaderan, itu bukan hak mu, tapi kewajibanmu untuk mendukungnya". Dan temanku itu akhirnya dengan tulus meminta maaf padaku, didepan sang Senior itu. Andai saja tak ada momen itu, tentulah tak ada sesosok Pera yang menyelesaikan seluruh jenjang perkaderan HMI-nya, dan menuliskan pengalamannya dalam blog ini. Pengalaman ini terekam dalam alam sadarku, dan sedaya upaya tak melakukan kesalahan yang sama. Semoga tak ada yang terzolimi oleh kekuasaan yang pernah kukelola. Kalaupun ada, mohon maaf dengan sangat.

Tapi memang gesekan di organisasi seringkali memakan korban. Kader yang tak kuat dengan kerasnya dinamika organisasi, terkadang terlempar keluar tanpa sempat mengukir sejarah di HMI. Tapi, biasanya..biasanya yah...orang-orang yang ditentang dan di jegal-jegal perkaderannya adalah karena dia punya kekuatan. Entah kekuatan itu negatif atau positif bagi HMI, tapi potensi itu terbaca dari aktifitasnya dan pengaruhnya. Dan kalau memang kader yang terzholimi ini memang seorang yang kuat, jika ia terlempar atau mampu bertahan di HMI biasanya dia akan disegani oleh segenerasinya.

Dan yang menjijikkan adalah, orang-orang yang dulu menjegal-jegal kader, datang mendekat meminta pertolongan kepada kader yang pernah di zholiminya.
Kehidupan bagai roda yang berputar, suatu saat kita sukses, suatu saat pula kita jatuh. Berorganisasi carilah teman, bukanlah musuh. Karena memiliki satu musuh saja, sama saja memutuskan sungai keberuntunganmu.

No comments:

Jejak Kohatiku