Wangi Melati

Friday, April 21, 2006

RUU PORNOGRAFI

Sifat : Penting Jakarta, 18 Juli 2003
Derajat : Segera KEPADA YTH.
Lembaran : 1 (satu) eksemplar PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN
Perihal : Penyampaian RUU Usul Inisiatif tentang RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
Anti Pornografi oleh Badan Legislasi JAKARTA




Bersama ini, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
menyampaikan dengan hormat, Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif
tentang Anti Pornografi.

Adapun pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar pengajuan Rancangan
Undang-Undang Usul Inisiatif tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum
yang berdasarkan Pancasila yang Iebih mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.

2. Bahwa untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia
yang serasi dan harmonis dalam keanekargaman suku, agama, ras, dan
golongan/kelompok, perlu adanya sikap dan perilaku masyarakat yang
dilandasi moral, etika, akhlak yang mulia, dan kepribadian luhur yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Bahwa meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi dalam masyarakat dapat mengancam kelestarian
tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa.

4. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai
saat ini belum secara tegas mendefinisikan pornografi sebagai pedoman
dalam upaya penegakan hukum untuk tujuan melestarikan tatanan
kehidupan masyarakat.


Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, Badan Legislasi DPR-RI
memandang perlu mengajukan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang
Anti Pornografi, sesuai dan berdasarkan hak konstitusional dan
normatif DPR RI yang diatur dalam Pasal 12 huruf d Peraturan Tata
Tertib DPR RI.


Atas perhatian dan perkenannya, kami ucapkan terima kasih.













RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN 2003
TENTANG
ANTI PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara hukum
yang berdasarkan Pancasila yang Iebih mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi;

b. bahwa untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang
serasi dan harmonis dalam keanekaragaman suku, agama, ras, dan
golongan/kelompok, perlu adanya sikap dan perilaku masyarakat yang
dilandasi moral, etika, akhlak yang mulia, dan kepribadian luhur yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bahwa meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi dalam masyarakat dapat mengancam kelestarian tatanan
kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa;

d. bahwa peraturan perundang - undangan yang ada sampai saat ini
belum secara tegas mendefinisikan pornografi sebagai pedoman dalam
upaya penegakan hukum untuk tujuan melestarikan tatanan kehidupan
masyarakat;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d diatas, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Anti Pornografi;


Mengingat : 1. Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa;
















Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ANTI PORNOGRAFI.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pornografi adalah substansi dalam media atau alat
komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang seks
dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika.
2. Media massa cetak adalah alat atau sarana penyampaian
informasi dan pesan-pesan secara visual kepada masyarakat luas berupa
barangbarang cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah, dan
tabloid.
3. Media massa elektronik adalah alat atau sarana
penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual
kepada masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, dan
yang dipersamakan dengan film.
4. Alat komunikasi medio adalah sarana penyampaian
informasi dan pesanpesan secara audio dan/atau visual kepada satu
orang dan/atau sejumlah orang tertentu antara lain berupa telepon,
surat, pamflet, leaflet, booklet, selebaran, poster, dan media
elektronik baru yang berbasis komputer seperti internet dan intranet.
5. Wan komersial adalah isi media yang mempromosikan
sesuatu barang atau jasa dengan tujuan akhir mencari keuntungan finansial.
6. Wan layanan masyarakat adalah isi media yang
mempromosikan sesuatu sebagai bentuk pemberian layanan kepada masyarakat.
7. Barang pornografi adalah buku, suratkabar, majalah,
tabloid dan media cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan
dengan film, seperti video, Video Compact Disc, Digital Video Disc,
Compact Disc, Personal Computer-Compact Disc Read Only Memory, dan
kaset, yang materinya mengandung sifat pornografi.
8. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi
yang dapat diperoleh antara lain melalui saluran telepon, televisi
kabel, internet, dan alat komunikasi elektronik lainnya dengan cara
pesanan atau berlangganan, serta layanan pornografi berupa
barang-barang pornografi yang dapat diperoleh secara langsung dengan
cara menyewa.
9. Membuat adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
memproduksi materi media massa cetak, media massa elektronik, media
media komunikasi lainnya, dan memproduksi barang-barang pornografi.
10. Menyebarluaskan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
mengedarkan materi media massa cetak, media massa elektronik, media
media komunikasi Iainnya, dan mengedarkan barang-barang yang
mengandung sifat pornografi dengan cara memperdagangkan,
memperlihatkan, memperdengarkan, mempertontonkan, mempertunjukan,
menyiarkan, menempelkan, dan/atau menuliskan.
11. Menggunakan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
memakai materi media massa cetak, media massa elektronik, media media
komunikasi lainnya, dan memakai barang-barang pornografi.
12. Badan keagamaan adalah lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi melakukan pembinaan umat beragama, seperti Majelis Ulama
Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Persatuan Gereja
Indonesia, Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Wali Umat Budha
Indonesia, dan lembaga sejenis yang diakui sah keberadaannya di Indonesia.
13. Setiap orang adalah orang perseorangan, perusahaan, atau
distributor sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir
baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
14. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Presiden.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi berasaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dengan memperhatikan nilai-nilai budaya, susila dan moral yang
dianut oleh masyarakat, keadilan, perlindungan hukum, dan kepastian hukum.

Pasal 3

Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi bertujuan memberikan perlindungan, pembinaan, dan
pendidikan moral dan akhlak masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia dalam rangka membentuk masyarakat yang
berkepribadian luhur, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


BAB III
PELARANGAN PORNOGRAFI

Pasal 4

Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan
pornografi dalam media massa cetak, media massa elektronik, dan alat
komunikasi medio.

Pasal 5

Setiap orang dilarang dengan sengaja menjadikan diri sebagai model
atau obyek pembuatan pornografi.

Pasal 6

Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan jasa
pornografi.

Pasal 7

Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan karya
seni yang mengandung sifat pornografi di media massa cetak, media
massa elektronik, atau alat komunikasi medio, dan yang berada di
tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan sebagai tempat pertunjukan
karya-karya seni.





BAB IV
PENGECUALIAN PORNOGRAFI

Pasal 8

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7
dikecualikan untuk tujuan pendidikan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan mated
pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada lembaga
riset atau lembaga pendidikan yang bidang keilmuannya bertujuan untuk
pengembangan pengetahuan.

Pasal 9

(1) Penggunaan barang pornografi dapat dilakukan untuk
keperluan pengobatan gangguan kesehatan.
(2) Penggunaan barang pornografi untuk keperluan gangguan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapatkan
rekomendasi dari dokter, rumah sakit dan/atau lembaga kesehatan yang
mendapatkan ijin dari Pemerintah.


BAB V
PERIZINAN

Pasal 10

(1) Pemerintah memberikan izin kepada setiap orang untuk
mengimpor dan menyebarluaskan barang pornografi dalam media cetak
dan/atau media elektronik untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dan Pasal 9.
(2) Setiap orang yang melakukan penyebarluasan barang
pornografi dalam media cetak dan/atau media elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat:
a. penjualan barang dan/atau jasa pornografi hanya
dilakukan oleh badanbadan usaha yang memiliki izin khusus;
b. penjualan barang dan/atau jasa pornografi secara
Iangsung hanya dilakukan di tempat-tempat tertentu dengan tanda khusus;
c. penjualan barang pornografi dilakukan dalam bungkus
rapat dengan kemasan bertanda khusus dan segel tertutup;
d. barang pornografi yang dijual ditempatkan pada etalase
tersendiri yang letaknya jauh dari jangkauan anak-anak dan remaja
berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun;

BAB VI
BADAN ANTI PORNOGRAFI NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas

Pasal 11

(1) Untuk pencegahan dan penanggulangan masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dalam masyarakat dibentuk
Badan Anti Pornografi Nasional, yang selanjutnya disingkat BAPN;
(2) BAPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta
pihak lain.

Pasal 12

(1) BAPN berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia;
(2) Apabila diperlukan BAPN dapat membentuk perwakilan di
Ibu Kota Provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya;
(3) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan keputusan BAPN.

Pasal 13

BAPN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah serta mewakili kepentingan masyarakat dalam upaya
penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.

Pasal 14

Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, BAPN
mempunyai tugas :
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada Pemerintah
dalam pembuatan kebijakan penanggulangan masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan
perundangundangan yang berlaku yang berkaitan dengan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
c. memantau dan melakukan penilaian terhadap perkembangan
pornografi dalam masyarakat;
d. melakukan advokasi dan edukasi kepada masyarakat dalam
menanggulangi masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi;
e. mendorong berkembangnya lembaga swadaya masyarakat
yang berfungsi membantu upaya penanggulangan masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
f. menerima pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan
masalah pornografi, dan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak
hukum untuk menindakianjuti pengaduan tersebut;
g. menjadi saksi ahli dalam proses pemeriksaan di
persidangan;
h. melakukan supervisi terhadap proses penyidikan proses
pornografi.


Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 15

(1) Anggota BAPN dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka
atas usul masyarakat.
(2) Anggota BAPN secara administratif ditetapkan oleh
Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 16

(1) BAPN terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, serta sekurang-kurangnya 9
(sembilan) orang Anggota yang mewakili unsur-unsur dalam masyarakat.
(2) Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BAPN
adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya.
(3) Ketua dan Wakil Ketua BAPN dipilih dari dan oleh Anggota.
Pasal 17

(1) Sebelum memangku jabatannya, Anggota BAPN mengucapkan
sumpah/janji di hadapan Presiden Republik Indonesia

(2) Lafal sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memangku jabatan saya ini Iangsung atau tidak Iangsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga."
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
Iangsung atau tidak Iangsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian."
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan segala undangundang yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia."
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan tidak membeda-bedakan
orang dalam melaksanakan kewajiban saya."

Pasal 18

Anggota BAPN terdiri atas unsur :
a. perwakilan badan keagamaan;
b. pakar komunikasi;
c. pakar teknologi informasi dan komunikasi;
d. pakar seni dan budaya;
e. pakar hukum pidana;dan
f. pakar sosiologi.

Pasal 19

Persyaratan keanggotaan BAPN adalah :
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. berkelakuan baik;
d. memiliki pengetahuan tentang pornografi; dan
e. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 20

Keanggotaan BAPN berhenti atau diberhentikan karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. melanggar sumpah/janji;
f. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
g. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak
pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara.



Pasal 21

(1) BAPN dalam melakukan tugas dan fungsinya dibantu oleh
Sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh seorang Sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh BAPN
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan BAPN.

Pasal 22

Struktur organisasi dan tata kerja BAPN diatur dengan keputusan BAPN.

Pasal 23

Pembiayaan untuk pelaksanaan tugas BAPN dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 24

BAPN berkewajiban untuk menyampaikan laporan kegiatan kepada DPR dan
Presiden setiap tahun.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 25

(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk berperan
serta dalam pencegahan dan penanggulangan pornografi berupa :
a. menyampaikan keberatan kepada BAPN terhadap pengedaran
barang dan / atau penyediaan jasa pornografi;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap
seseorang, sekelompok orang, dan/atau badan yang diduga melakukan
pengedaran pornografi.
c. gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada huruf b
dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat yang perduli pada masalah
pornografi.
(2) Setiap warga negara Indonesia berkewajiban untuk :
a. melakukan pembinaan moral, mental spiritual, dan
akhlak masyarakat dalam rangka membentuk masyarakat yang
berkepribadian luhur, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. membantu penyelenggarakan kegiatan advokasi dan
edukasi dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi;
(3) Setiap warga negara Indonesia bertanggungjawab untuk
melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila melihat dan/atau
mengetahui adanya penerbitan dan/atau pengedaran pornografi.

BAB VIII
PERAN PEMERINTAH

Pasal 26

(1) Pemerintah dapat melakukan kerjasama bilateral,
regional, dan multilateral dengan negara lain dalam membatasi
penyebarluasan pornografi sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara;
(2) Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan hukum dan
keamanan kepada penggugat dan / atau pelapor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b dan ayat (3).

BAB IX
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 27

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka persidangan terhadap
tindak pidana pornografi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB X
KETENTUAN SANKSI

Bagian Pertama
Sanksi Administratif

Pasal 28

a. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diancam
dengan sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha
b. Setiap orang yang telah dicabut ijin usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan kembali ijin
usaha sejenis.

Bagian Kedua
Ketentuan Pidana

Pasal 29

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau paling
singkat 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling sedikit Rp.
500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 9 ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
600.000.000,(enam ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
250.000.000,- ( dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 30

(1) Setiap orang yang tidak memiliki ijin untuk mengimpor
dan menyebarluaskan barang pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling sedikit Rp.
1.000.000.000,(satu milyar rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan penyebarluasan barang
pornografi tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling sedikit Rp.
1.000.000.000,(satu milyar rupiah).
Pasal 31

Setiap orang yang dengan sengaja menghalang-halangi dan/atau
mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di muka
persidangan perkara tindak pidana pornografi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000. (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit 100.000.000. (seratus juta rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pornografi dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan paling singkat 6 (enam) bulan dan pidana
denda paling banyak Rp. 3 000.000.000 (tiga milyar rupiah) dan paling
sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah.)


BAB XI
PEMUSNAHAN

Pasal 33

(1) Pemusnahan barang pornografi dilakukan terhadap
a. hasil penyitaan dan perampasan barang yang tidak berijin
b. putusan pengadilan
(2) Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum bekerja sama dengan BAPN.
(3) Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat
a. nama media apabila barang disebarluaskan melalui media
massa cetak dan/atau media massa elektronik;
b. nama dan jenis barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang
yang dimusnahkan; dan
e. tanda tangan dan identitas lengkap para pelaksana dan
pejabat yang melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan.


BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan
perundangundangan yang mengatur atau berkaitan dengan pornografi
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.

Pasal 35

BAPN dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
UndangUndang ini mulai berlaku.




BAB XIII
PENUTUP

Pasal 36

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan
undangundang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.


Disahkan di Jakarta
Pada tanggal…………….
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


MEGAWATI SOEKARNO PUTRI


Diundangkan di Jakarta,…………..
Pada tanggal,……………………

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,


BAMBANG KESOWO













LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……..NOMOR ……………














PENJELASAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
ANTI PORNOGRAFI


I. UMUM
Negara Indonesia adalah negara yang menganut faham Pancasila.
Keyakinan dan kepercayaan ini secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea
III dan IV. Sebagai penganut faham hidup berketuhanan, bangsa
Indonesia meyakini dan mempercayai bahwa Tuhan melarang sikap dan
tindakan-tindakan a-sosial, a-susila, dan amoral dalam kehidupan seks,
seperti pelecehan, perselingkuhan, kekerasan seks, penyimpangan seks,
dan penyebarluasan gagasangagasan tentang seks, karena dapat merusak
tatanan kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat beragama
tindakan-tindakan memperlihatkan, mempertontonkan, mempertunjukkan,
dan / atau memperdengarkan materi seks dianggap sebagai suatu ancaman
terhadap kelestarian tatanan kehidupan masyarakat karena ikut berperan
dalam pembentukan sikap dan tindakan a-susila dan a-moral semacam itu.
Tindakan-tindakan semacam itu juga dianggap menunjukkan sikap
menentang kekuasaan Tuhan.

Pada era kehidupan moderen di tengah globalisasi informasi seperti
sekarang kelestarian tatanan masyarakat Indonesia menghadapi ancaman
yang serius. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi saat ini terjadi peningkatan penyebarluasan gagasangagasan
tentang seks berupa pornografi dalam berbagai bentuknya melalui media
massa dan alat komunikasi lainnya. Kecenderungan ini telah menimbulkan
keresahan dan kekuatiran masyarakat beragama akan hancurnya
sendi-sendi moral dan etika yang sangat diperlukan dalam pemeliharaan
dan pelestarian tatanan kehidupan masyarakat.

Sebagai penganut keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat Indonesia memiliki hak untuk melindungi diri dan memiliki
kewajiban berperan serta mencegah terjadinya kerusakan tatanan dan
disintegrasi yang disebabkan oleh sikap dan tindakantindakan a-sosial,
a-susila, dan a-moral yang dilakukan oleh individu atau sekelompok
individu yang menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang seks di depan
umum, atau di lingkungan ranah publik. Dalam hal ini penyelenggara
negara memiliki hak dan sekaligus kewajiban untuk melarang pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi oleh individu atau
sekelompok individu yang tidak menghormati hak masyarakat umum yang
lebih luas untuk melindungi diri dari dampak pornografi. Oleh
karenanya agar pemenuhan hak individu dan sekelompok individu tidak
melanggar pemenuhan hak masyarakat umum untuk memiliki kehidupan yang
tertib dan aman, maka pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi harus diatur dengan undang-undang.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini pada dasarnya melarang
semua bentuk aktivitas pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi sebagaimana diajarkan dalam faham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Larangan tersebut lebih keras diarahkan pada pembuatan pornografi oleh
perseorangan atau korporasi di dalam negeri agar Undang-Undang ini
berfungsi secara efektif dalam membantu pemerintah dalam membatasi
pornografi serta membantu lembagalembaga keagamaan dan masyarakat
dalam memecahkan persoalanpersoalan pornografi yang dihadapi sekarang
ini. Undang-Undang ini mengakui peran penting lembaga-lembaga
keagamaan dalam pembinaan moral dan moralitas masyarakat. Oleh
karenanya, pengaturan dalam Undang-Undang ini tidak dimaksudkan untuk
mengambil alih peran lembaga-lembaga keagamaan, tetapi diarahkan pada
upaya menegakkan kesepakatan bersama antar umat beragama mengenai
pornografi, dalam rangka memelihara sistem nilai budaya masyarakat
yang dilandasi kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk tujuan itu maka upaya menanggulangi masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang diatur dalam
Undang-Undang ini melibatkan peran serta masyarakat, lembaga-lembaga
keagamaan, dan pemerintah.

Undang-Undang ini juga mengakui peran penting karya-karya seni dan
para seniman pembuatnya bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dan
oleh karenanya keberadaan karya-karya seni serius atau seni murni
(high-art) dan karya-karya seni yang berorientasi pada pasar atau seni
popular (popular art) tetap dihormati dan dihargai sebagaimana
mestinya. Dalam Undang-Undang ini pornografi dibedakan dari seni.
Nilai yang terkandung dalam pornografi dianggap lebih bersifat
instrumental yakni berperan sebagai sarana atau alat untuk mencapai
sesuatu yang lain, atau bersifat ekstrinsik yakni bertujuan lain di
luar dirinya. Sebaliknya, nilai yang terkandung dalam seni dianggap
lebih bersifat intrinsik, hanya berkaitan dengan pengalaman yang
dilandasi moralitas yang baik, bernilai dalam dirinya sendiri, atau
sebagai tujuan akhir. Karya seni dianggap memiliki keunikan karena
tidak mungkin diproduksi dan direproduksi dengan kualitas yang persis
sama. Sebaliknya, pornografi dianggap tidak memiliki keunikan karena
bisa diproduksi dan direproduksi sebanyak mungkin atau secara massal
dengan kualitas yang persis sama atau paling tidak hampir sama.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Dalam pengertian ini, penyebarluasan gagasan-gagasan tentang seks,
kecabulan dan / atau erotika yang dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai, agama, budaya, susila dan moral yang dianut oleh
masyarakat. Yang dimaksud kecabulan adalah mated yang memperlihatkan
ketelanjangan tubuh, aktivitas hubungan seks, tindak kekerasan seks
seperti perkosaan, hubungan seks yang disertai tindakan sadisme, dan
aktivitas hubungan seks yang tidakmengandung unsur kekerasan namun
merendahkan nilai sakral hubungan seks.
Yang dimaksud erotika adalah mated yang mengandung sifat atau
tema-tema seksual.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Lembaga penyelenggara jasa pornografi yang melalui internet harus
diperlengkapi dengan sistem filter.

Pasal 7
Karya seni adalah hasil ciptaan manusia yang memiliki nilai estetika
yang tinggi, dan mengutamakan nilai-nilai intrinsik yakni yang
bertujuan pada dirinya sendiri. Sebuah karya yang mengutamakan
nilai-nilai ekstrinsik yakni yang bertujuan lain di luar dirinya
sendiri, seperti tujuan promosi, meningkatkan penjualan, dan
membangkitkan nafsu birahi, tidak dikategorikan sebagai karya seni.

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan gangguan kesehatan dalam pasal ini adalah
gangguan fungsi seksual dan alat reproduksi, yang pengobatannya
memerlukan alat bantu barang pornografi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Pemantauan dan penilaian dilakukan terhadap pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi dalam media massa cetak, media massa
elektronik, dan alat komunikasi medio.

Huruf d
Masukan dan saran-saran kepada Pemerintah mengenai Iayak atau tidaknya
suatu pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan mated dalam media atau
alat komunikasi, dapat disampaikan melalui media massa.

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
yang dimaksud dengan masyarakat adalah lembaga swadaya masyarakat yang
memiliki kepedulian terhadap masalah pornografi

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
huruf a
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini meliputi upaya
meningkatkan moral dan akhlak bangsa melalui pendidikan keagamaan,
moral, etika dan budi pekerti pada lembaga-lembaga pendidikan dari
tingkat Sekolah Taman Kanak-kanak sampai dengan tingkat Perguruan
Tinggi; dan/atau mencegah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.

huruf b
Yang dimaksud dengan kegiatan advokasi adalah kegiatan pemberian
bantuan hukum dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi. Yang dimaksud dengan kegiatan edukasi
adalah kegiatan pemberian bimbingan, konsultasi, penerangan, dan
penyuluhan dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas















TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……………

No comments:

Jejak Kohatiku